30 Oktober, 2014

SejAraH

|
Pada zaman dahulu, ada suatu keyakinan bahwa setiap penyakit menunjukan ketidaksenangan dewa dan merupakan hukuman atas dosa dan perbuatan yang salah. Penderita gangguan jiwa dipandang jahat atau baik tergantung pada perilakunya. Individu yang baik disembah dan dipuja, individu yang jahat diasingkan, dihukum, dan kadang kala dibakar di tiang pembakaran. Setelah itu, Aristoteles (382-322 SM) mencoba menghubungkan gangguan jiwa dengan gangguan fisik dan mengembangkan teorinya bahwa emosi dikendalikan oleh jumlah darah, air, empedu kuning dan hitam dalam tubuh. Keempat zat atau cairan tersebut berhubungan dengan emosi gembira, tenang, marah, dan sedih. Ketidakseimbangan empat cairan tersebut diyakini menyebabkan gangguan jiwa sehingga terapi ditujukan pada upaya mengembalikan keseimbangan dengan kurban persembahan, puasa, dan menyucikan diri.
Pada masa awal kristiani (1-10000 M) keyakinan dan tahayul primitif kuat. Setan sekali lagi dianggap penyebab penyakit dan individu yang terganggu jiwanya dianggap kerasukan setan. Penderita berupaya mengusir setan dari individu yang kerasukan. Apabila gagal, tindakan yang lebih berat dilakukan, seperti mengurung di kamar bawah tanah, mencambuk, membiarkan lapar, dan terapi brutal lain.
Selama zaman renaisans (1300-1600), penderita gangguan jiwa dibedakan dari penjahat di Inggris. Mereka yang dianggap tidak berbahaya dibiarkan berkeliaran keluar kota atau tinggal di masyarakat pedesaan, tetapi individu yang lebih “tidak waras dan berbahaya“ tetap di penjarakan, dirantai, dan dibiarkan lapar (Rosenblatt, 1984). Pada tahun 1547, Rumah Sakit St. Mary Bethlehem  secara resmi dinyatakan sebagai Rumah Sakit untuk penderita gangguan jiwa, yang merupakan rumah sakit pertama jenis ini. Pada tahun 1775, pengunjung di institusi tersebut dibebankan biaya untuk dapat melihat dan mengejek penghuninya, yang dipandang sebagai hewan makhluk yang lebih rendah dari manusia (McMilland, 1997). Selama periode yang sama di koloni-koloni Amerika Serikat, pada waktu berikutnya, penderita gangguan jiwa dianggap jahat atau kerasukan setan dan dihukum. Tindakan memfitnah dilakukan dan individu yang bersalah dibakar di tiang pembakaran.
Gangguan jiwa pada abad ke-21
Department of Health and Human Services (1999) memperkirakan 21 juta penduduk Amerika dapat didiagnosis mengalami gangguan jiwa. Dari jumlah tersebut, 6,5 juta mengalami disabilitas akibat gangguan jiwa yang berat, dan 4 juta diantaranya adalah anak-anak dan remaja. Misalnya, 3% sampai 5% anak usia sekolah mengalami gangguan hiperaktivitas / defisit perhatian. Lebih dari 10 juta anak berusia kurang dari 7 tahun tumbuh di rumah yang salah satu orang tuanya menderita gangguan jiwa yang signifikan atau menyalahgunakan zat sehingga menghambat kesiapan mereka untuk masuk sekolah.
Beberapa ahli berpendapat bahwa deinstitutionalization memiliki efek negatif sekaligus positif (Torrey, 1997). Walawpun jumlah tempat tidur di Rumah Sakit umum menurun sebesar 80%, ada peningkatan jumlah pasien yang masuk Rumah Sakit sebesar 90% (Appleby & Desai, 1993). Hal ini memunculkan istilah “efek pintu putar”. Penderita gangguan jiwa persisten dan berat dirawat dalam waktu singkat, tetapi frekuensi mereka masuk rumah sakit lebih tinggi. Unit psikiatri rumah sakit umum kewalahan dengan arus kontinu pasien yang masuk dan keluar rumah sakit dengan cepat.  Jumlah kunjungan individu yang mengalami gangguan akut ke ruang kedaruratan meningkat 400% sampai 500% di beberapa kota.
Banyak ahli berpendapat bahwa pasien saat ini lebih agresif. Empat sampai delapan persen pasien di ruang kedaruratan psikiatri membawa senjata (Ries, 1997), dan sekitar 1000 pembunuhan dalam setahun dilakukan oleh penderita gangguan jiwa persisten dan berat yang tidak mendapatkan perawatan yang adekuat (Torrey, 1997). Sepuluh sampai lima belas persen pesakitan di penjara pemerintah menderita gannguan jiwa persisten dan berat (Lamb & Weinberger, 1998).
Tunawisma merupakan masalah utama di amerika serikat sampai saat ini. Departement of Healt and Human Services (1999) memeperkirakan bahwa 750.000 individu tinggal dan tidur di jalan. Perkiraan prevalensi gangguan jiwa diantara populasi tunawisma adalah 25 % sampai 50 % tunawisma dewasa menagalami psikosis dan 33 % sampai 50 % mengalami masalah penyalahgunaan zat (Haugland et al; 1997). Mereka yang tunawisma dan mengalami gangguan jiwa ditemukan di taman, bandara, terminal bis, gang, dan lorong bertangga, penjara, dan tempat umum lain. Beberapa dari mereka menggunakan tempat penampungan, halfway house atau board and care room, yang lain menyewa kamar hotel yang murah jika mereka mampu (Haugland et al; 1997). Banyak penderita gangguan jiwa yang tinggal di jalan semakin memburuk masalah kejiwaannya akibat tidak memiliki rumah sehingga hal ini menjadi sebuah lingkaran setan.
Banyak masalah yang dialami penderita gangguan jiwa yang tunwisma dan mereka yang melewati pintu kutar perawatan pisikiatri, disebabkan oleh dana masyarakat yang tidak adekuat. Ketika rumah sakit pemerintahan di tutup dana yang disimpan negara tidak di transfer ke program dan dukungan masyarakat. Terapi pisikiatri rawat inap masih merupakan pos pengeluaran utama dalam bidang kesehatan jiwa di amerika serikat sehingga kesehatan jiwa masyarakat tidak pernah memiliki dana pokok yang dibutuhkan untuk menjadi efektif (Keltner Schwecke, & Bostrom, 1999).
Pada tahun 1993, Acces to Community Care and Ef-fective Services and Support (ACCESS) dibentuk dan didanai oleh pemerintah pederal untuk mulai memenuhi kebutuhan penderita gangguan jiwa yang juga tunawisma baik secara purna maupun paru waktu. Tujuan ACCESS ialah meningkatkn akses kepelayanan komprehensif melalui rangkaian keperawatan mengurangi duplikasi dan biaya pelayanan, dan meningkatkan efisiensi pelayanan (Randolph at al ; 1997) program seperti ini memberi pelayanan kepada individu yang tidak mendapatkan pelayanan jika keadaan yang terjadi sebaliknya.

ILMU KEPERAWATAN JIWA
A.  SEJARAH PSICHIATRI
1773           : Custodial Care (tidak oleh tenaga kesehatan)
1882           : Primary Consistend of Custodial Care
1920-1945 : Care Fokus pada disease (model Curative Care)
1950-1960 :
  1. Pelayanan mulai berfokus pada klien
  2. Psychotropic – menggantikan – Restrains – and Seclusion
  3. Deinstitutionalization dimulai
  4. Mulai penekanan pada therapethic relationship
  5. Mayor fokus pada primary preventive
1970-1980  :
  • Fokus pada community based care / service
  • Riset & Tecnologi
1990-2000  :
Fokus pada preventif, community based service, primary preventive using various approaches, such as mental health center, particai, hospital service, day care center, home health and hospice care.
B.  SEJARAH PERKEMBANGAN DAN UPAYA KESEHATAN JIWA DI INDONESIA
Dulu Kala
Gangguan jiwa dianggap kemasukan.
Terapi : mengeluarkan roh jahat
Zaman Kolonial

Sebelum ada RSJ, pasien ditampung di RSU – yang ditampung, hanya yg mengalami gangguan Jiwa berat.
1 Juli :
-   1882 : RSJ pertama di Indonesia
-   1902 : RSJ Lawang
-   1923 : RSJ Magelang
-   1927 : RSJ Sabang diRS ini jauh dari perkotaan
  • Perawat pasien bersifat isolasi & penjagaan (custodial care)
    • Stigma
    • Keluarga menjauhkan diri dari pasien
  1. Dewasa Ini hanya satu jenis RSJ yaitu RSJ punya pemerintah
  2. Sejak tahun 1910 – mulai dicoba hindari costodial care (penjagaan ketat) & restraints (pengikatan)
  3. Mulai tahun 1930 – dimulai terapi kerja seperti menggarap lahan pertanian
  4. Selama Perang Dunia II & pendudukan jepang – upaya kesehatan jiwa tak berkembang
  5. Proklamasi – perkembangan baru
  • Oktober 1947 pemerintah membentuk Jawatan Urusan Penyakit Jiwa ( belum bekerja dengan baik)
  • Tahun 1950 pemerintah memperingatkan Jawatan Urusan Penyakit Jiwa – meningkatkan penyelenggaraan pelayanan
Tahun 1966
  • PUPJ Direktorat Kesehatan Jiwa
  • UU Kesehatan Jiwa No.3 thn 1966 ditetapkan oleh pemerintah
  • Adanya Badan Koordinasi Rehabilitasi Penderita Penyakit Jiwa ( BKR-PPJ) Dgn instansi diluar bidang kesehatan
Tahun 1973 – PPDGJ I yg diterbitkan tahun 1975 ada integrasi dgn puskesmas
Sejak tahun 1970 an : pihak swastapun mulai memikirkan masalah kes. Jiwa
Ilmu kedokteran Jiwa berkembang
  • Adanya sub spesialisasi seperti kedokteran jiwa masyarakat, Psikiatri Klinik, kedokteran Jiwa Usila dan Kedokteran Jiwa Kehakiman
  • Setiap sub Direktorat dipimpin oleh 4 kepala seksi
Program Kes. Jiwa Nasional dibagi dalam 3 sub Program yang diputuskan pada masyarakat dengan prioritas pada Heath Promotion
  • Sub Prgoram Perbaikan Pelayanan :
ü Fokus Psychiatic – medical – Care
ü Penekanan pada curative service ( treatment) dan rehabilitasi
  • Sub Program untuk pengembangan sistem
ü Fokus pada peningkatan IPTEK, Continuing education, research administrasi dan manajemen, mental health information
  • Sub Program untuk establishment community mental health :
ü Diseminasi Ilmu
ü Fasilitasi RSJ swasta – perijinan
ü Stimulasi konstruksi RSJ swasta
ü Kerja sama dgn luarg negeri : ASEAN, ASOD, COD, WHO dan AUSAID, etc

re-present by.Xander
taken from:

Copyright © 2013 Lantera Jiwa

Template byAlexander Xander Axel