30 Oktober, 2014

Bebaskan Pemasungan

|
Sosialisasi Kesehatan Jiwa-Dinkes Tanah Bumbu
Beberapa waktu terakhir ini sering diberitakan, baik di media cetak maupun elektronik mengenai pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi. Padahal sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa menyatakan bahwa pasien dengan gangguan jiwa yang terlantar mendapatkan perawatan dan pengobatan pada suatu tempat perawatan. Bahkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15, tertanggal 11 Nopember 1977 yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menyerahkan perawatan penderita di Rumah Sakit Jiwa. Surat tersebut juga berisi instruksi untuk para Camat dan Kepala Desa agar secara aktif mengambil prakarsa dan langkah-langkah dalam penanggulangan pasien yang ada di daerah mereka.
Kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Bab IX Pasal 144 – 151 tentang Kesehatan Jiwa. Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa. Hal itu disampaikan Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH dalam sambutan yang dibacakan dr. Ratna Rosita, MPHM, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan pada Pertemuan Lintas Sektor Dalam Mencapai Akses Kesehatan Jiwa dan Menuju Indonesia Bebas Pasung tanggal 7 Oktober 2010. Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2010 ini mengambil tema “Mental health and long term illnesses : the need for continued and integrated care” (Kesehatan jiwa dan penyakit kronis : kebutuhan layanan sinambung dan terintegrasi ) sesuai dengan tema Internasional dari World Federation for Mental Health(WMFH).
Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), terutama yang berat dan kronis seperti skizofrenia dan gangguan bipolar adalah termasuk kelompok yang rentan mengalami pengabaian hak-haknya. WHO dalam pernyataannya mengenai Kesehatan Jiwa, menyatakan bahwa, gangguan jiwa mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku, kemampuan untuk melindungi kepentingan dirinya dan kemampuan mereka untuk mengambil keputusan; seseorang dengan gangguan jiwa berhadapan dengan stigma, diskriminasi dan marginalisasi. Stigma menyebabkan mereka tidak mencari pengobatan yang sangat mereka butuhkan, atau mereka akan mendapatkan pelayanan yang bermutu rendah; marginalisasi dan diskriminasi juga meningkatkan risiko kekerasan pada hak-hak individu, hak politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Sekjen menyampaikan bahwa pemenuhan kebutuhan ODMK yang di pasung dan terlantar, diperlukan upaya yang komprehensif dari segala aspek: kesehatan, ekonomi, dan sosial. Upaya ini kita sebut Menuju Indonesia Bebas Pasung. ”Upaya ini mengatur tentang Peran pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Peran serta masyarakat diharapkan mampu untuk mengenali kasus-kasus gangguan jiwa di masyarakat, pemasungan yang ada di lingkungan dan mendorong anggota masyarakat untuk berobat dan kontrol. Pemerintah dan pemerintah daerah bukan hanya menemukan kasus-kasus pasung untuk kemudian melepaskannya, tetapi juga harus memberikan edukasi pada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan,” tegas Sekjen.
Puskesmas diberdayakan sehingga mampu menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan jiwa serta juga harus menyediakan pengobatan yang diperlukan. Rumah Sakit Umum harus menyediakan tempat tidur sehingga bisa merawat ODMK yang memerlukan perawatan. Rumah Sakit Jiwa selain sebagai pusat rujukan juga harus mampu menjadi pusat pembinaan kesehatan jiwa bagi layanan kesehatan di wilayahnya.
Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa dr. Irmansyah, SpKJ(K) menyampaikan pertemuan Lintas Sektor dalam Mencapai Akses Kesehatan Jiwa dan Menuju Indonesia Bebas Pasung ini merupakan salah satu kegiatan dalam rangkaian kegiatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2010. Kegiatan lain berkaitan dengan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2010 ini diantaranya Pameran Lukisan Hasil Karya para ODMK yang diselenggarakan tanggal 7 – 11 Oktober 2010 kemudian peluncuran Hotline Service Kesehatan Jiwa dengan nomor panggil 500 454 sekaligus Puncak Acara yang akan dilaksanakan di Lapangan Monas pada tanggal 10 Oktober 2010. Humas

re-write by. Xander
Baca selengkapnya »

SejAraH

|
Pada zaman dahulu, ada suatu keyakinan bahwa setiap penyakit menunjukan ketidaksenangan dewa dan merupakan hukuman atas dosa dan perbuatan yang salah. Penderita gangguan jiwa dipandang jahat atau baik tergantung pada perilakunya. Individu yang baik disembah dan dipuja, individu yang jahat diasingkan, dihukum, dan kadang kala dibakar di tiang pembakaran. Setelah itu, Aristoteles (382-322 SM) mencoba menghubungkan gangguan jiwa dengan gangguan fisik dan mengembangkan teorinya bahwa emosi dikendalikan oleh jumlah darah, air, empedu kuning dan hitam dalam tubuh. Keempat zat atau cairan tersebut berhubungan dengan emosi gembira, tenang, marah, dan sedih. Ketidakseimbangan empat cairan tersebut diyakini menyebabkan gangguan jiwa sehingga terapi ditujukan pada upaya mengembalikan keseimbangan dengan kurban persembahan, puasa, dan menyucikan diri.
Pada masa awal kristiani (1-10000 M) keyakinan dan tahayul primitif kuat. Setan sekali lagi dianggap penyebab penyakit dan individu yang terganggu jiwanya dianggap kerasukan setan. Penderita berupaya mengusir setan dari individu yang kerasukan. Apabila gagal, tindakan yang lebih berat dilakukan, seperti mengurung di kamar bawah tanah, mencambuk, membiarkan lapar, dan terapi brutal lain.
Selama zaman renaisans (1300-1600), penderita gangguan jiwa dibedakan dari penjahat di Inggris. Mereka yang dianggap tidak berbahaya dibiarkan berkeliaran keluar kota atau tinggal di masyarakat pedesaan, tetapi individu yang lebih “tidak waras dan berbahaya“ tetap di penjarakan, dirantai, dan dibiarkan lapar (Rosenblatt, 1984). Pada tahun 1547, Rumah Sakit St. Mary Bethlehem  secara resmi dinyatakan sebagai Rumah Sakit untuk penderita gangguan jiwa, yang merupakan rumah sakit pertama jenis ini. Pada tahun 1775, pengunjung di institusi tersebut dibebankan biaya untuk dapat melihat dan mengejek penghuninya, yang dipandang sebagai hewan makhluk yang lebih rendah dari manusia (McMilland, 1997). Selama periode yang sama di koloni-koloni Amerika Serikat, pada waktu berikutnya, penderita gangguan jiwa dianggap jahat atau kerasukan setan dan dihukum. Tindakan memfitnah dilakukan dan individu yang bersalah dibakar di tiang pembakaran.
Gangguan jiwa pada abad ke-21
Department of Health and Human Services (1999) memperkirakan 21 juta penduduk Amerika dapat didiagnosis mengalami gangguan jiwa. Dari jumlah tersebut, 6,5 juta mengalami disabilitas akibat gangguan jiwa yang berat, dan 4 juta diantaranya adalah anak-anak dan remaja. Misalnya, 3% sampai 5% anak usia sekolah mengalami gangguan hiperaktivitas / defisit perhatian. Lebih dari 10 juta anak berusia kurang dari 7 tahun tumbuh di rumah yang salah satu orang tuanya menderita gangguan jiwa yang signifikan atau menyalahgunakan zat sehingga menghambat kesiapan mereka untuk masuk sekolah.
Beberapa ahli berpendapat bahwa deinstitutionalization memiliki efek negatif sekaligus positif (Torrey, 1997). Walawpun jumlah tempat tidur di Rumah Sakit umum menurun sebesar 80%, ada peningkatan jumlah pasien yang masuk Rumah Sakit sebesar 90% (Appleby & Desai, 1993). Hal ini memunculkan istilah “efek pintu putar”. Penderita gangguan jiwa persisten dan berat dirawat dalam waktu singkat, tetapi frekuensi mereka masuk rumah sakit lebih tinggi. Unit psikiatri rumah sakit umum kewalahan dengan arus kontinu pasien yang masuk dan keluar rumah sakit dengan cepat.  Jumlah kunjungan individu yang mengalami gangguan akut ke ruang kedaruratan meningkat 400% sampai 500% di beberapa kota.
Banyak ahli berpendapat bahwa pasien saat ini lebih agresif. Empat sampai delapan persen pasien di ruang kedaruratan psikiatri membawa senjata (Ries, 1997), dan sekitar 1000 pembunuhan dalam setahun dilakukan oleh penderita gangguan jiwa persisten dan berat yang tidak mendapatkan perawatan yang adekuat (Torrey, 1997). Sepuluh sampai lima belas persen pesakitan di penjara pemerintah menderita gannguan jiwa persisten dan berat (Lamb & Weinberger, 1998).
Tunawisma merupakan masalah utama di amerika serikat sampai saat ini. Departement of Healt and Human Services (1999) memeperkirakan bahwa 750.000 individu tinggal dan tidur di jalan. Perkiraan prevalensi gangguan jiwa diantara populasi tunawisma adalah 25 % sampai 50 % tunawisma dewasa menagalami psikosis dan 33 % sampai 50 % mengalami masalah penyalahgunaan zat (Haugland et al; 1997). Mereka yang tunawisma dan mengalami gangguan jiwa ditemukan di taman, bandara, terminal bis, gang, dan lorong bertangga, penjara, dan tempat umum lain. Beberapa dari mereka menggunakan tempat penampungan, halfway house atau board and care room, yang lain menyewa kamar hotel yang murah jika mereka mampu (Haugland et al; 1997). Banyak penderita gangguan jiwa yang tinggal di jalan semakin memburuk masalah kejiwaannya akibat tidak memiliki rumah sehingga hal ini menjadi sebuah lingkaran setan.
Banyak masalah yang dialami penderita gangguan jiwa yang tunwisma dan mereka yang melewati pintu kutar perawatan pisikiatri, disebabkan oleh dana masyarakat yang tidak adekuat. Ketika rumah sakit pemerintahan di tutup dana yang disimpan negara tidak di transfer ke program dan dukungan masyarakat. Terapi pisikiatri rawat inap masih merupakan pos pengeluaran utama dalam bidang kesehatan jiwa di amerika serikat sehingga kesehatan jiwa masyarakat tidak pernah memiliki dana pokok yang dibutuhkan untuk menjadi efektif (Keltner Schwecke, & Bostrom, 1999).
Pada tahun 1993, Acces to Community Care and Ef-fective Services and Support (ACCESS) dibentuk dan didanai oleh pemerintah pederal untuk mulai memenuhi kebutuhan penderita gangguan jiwa yang juga tunawisma baik secara purna maupun paru waktu. Tujuan ACCESS ialah meningkatkn akses kepelayanan komprehensif melalui rangkaian keperawatan mengurangi duplikasi dan biaya pelayanan, dan meningkatkan efisiensi pelayanan (Randolph at al ; 1997) program seperti ini memberi pelayanan kepada individu yang tidak mendapatkan pelayanan jika keadaan yang terjadi sebaliknya.

ILMU KEPERAWATAN JIWA
A.  SEJARAH PSICHIATRI
1773           : Custodial Care (tidak oleh tenaga kesehatan)
1882           : Primary Consistend of Custodial Care
1920-1945 : Care Fokus pada disease (model Curative Care)
1950-1960 :
  1. Pelayanan mulai berfokus pada klien
  2. Psychotropic – menggantikan – Restrains – and Seclusion
  3. Deinstitutionalization dimulai
  4. Mulai penekanan pada therapethic relationship
  5. Mayor fokus pada primary preventive
1970-1980  :
  • Fokus pada community based care / service
  • Riset & Tecnologi
1990-2000  :
Fokus pada preventif, community based service, primary preventive using various approaches, such as mental health center, particai, hospital service, day care center, home health and hospice care.
B.  SEJARAH PERKEMBANGAN DAN UPAYA KESEHATAN JIWA DI INDONESIA
Dulu Kala
Gangguan jiwa dianggap kemasukan.
Terapi : mengeluarkan roh jahat
Zaman Kolonial

Sebelum ada RSJ, pasien ditampung di RSU – yang ditampung, hanya yg mengalami gangguan Jiwa berat.
1 Juli :
-   1882 : RSJ pertama di Indonesia
-   1902 : RSJ Lawang
-   1923 : RSJ Magelang
-   1927 : RSJ Sabang diRS ini jauh dari perkotaan
  • Perawat pasien bersifat isolasi & penjagaan (custodial care)
    • Stigma
    • Keluarga menjauhkan diri dari pasien
  1. Dewasa Ini hanya satu jenis RSJ yaitu RSJ punya pemerintah
  2. Sejak tahun 1910 – mulai dicoba hindari costodial care (penjagaan ketat) & restraints (pengikatan)
  3. Mulai tahun 1930 – dimulai terapi kerja seperti menggarap lahan pertanian
  4. Selama Perang Dunia II & pendudukan jepang – upaya kesehatan jiwa tak berkembang
  5. Proklamasi – perkembangan baru
  • Oktober 1947 pemerintah membentuk Jawatan Urusan Penyakit Jiwa ( belum bekerja dengan baik)
  • Tahun 1950 pemerintah memperingatkan Jawatan Urusan Penyakit Jiwa – meningkatkan penyelenggaraan pelayanan
Tahun 1966
  • PUPJ Direktorat Kesehatan Jiwa
  • UU Kesehatan Jiwa No.3 thn 1966 ditetapkan oleh pemerintah
  • Adanya Badan Koordinasi Rehabilitasi Penderita Penyakit Jiwa ( BKR-PPJ) Dgn instansi diluar bidang kesehatan
Tahun 1973 – PPDGJ I yg diterbitkan tahun 1975 ada integrasi dgn puskesmas
Sejak tahun 1970 an : pihak swastapun mulai memikirkan masalah kes. Jiwa
Ilmu kedokteran Jiwa berkembang
  • Adanya sub spesialisasi seperti kedokteran jiwa masyarakat, Psikiatri Klinik, kedokteran Jiwa Usila dan Kedokteran Jiwa Kehakiman
  • Setiap sub Direktorat dipimpin oleh 4 kepala seksi
Program Kes. Jiwa Nasional dibagi dalam 3 sub Program yang diputuskan pada masyarakat dengan prioritas pada Heath Promotion
  • Sub Prgoram Perbaikan Pelayanan :
ü Fokus Psychiatic – medical – Care
ü Penekanan pada curative service ( treatment) dan rehabilitasi
  • Sub Program untuk pengembangan sistem
ü Fokus pada peningkatan IPTEK, Continuing education, research administrasi dan manajemen, mental health information
  • Sub Program untuk establishment community mental health :
ü Diseminasi Ilmu
ü Fasilitasi RSJ swasta – perijinan
ü Stimulasi konstruksi RSJ swasta
ü Kerja sama dgn luarg negeri : ASEAN, ASOD, COD, WHO dan AUSAID, etc

re-present by.Xander
taken from:
Baca selengkapnya »

Kesehatan Kejiwaan

|
Kesehatan Jiwa merupajan suatu kondisi sehat, emosional, psikologis, dan sosiologi yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan kooping yang efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional. Kesehatan jiwa memiliki banyak komponen dan di pengaruhi oleh berbagai faktor (Johnson, 1997).
A mind that grows and adjust, is in control and is free of stress. Kondisi jiwa seseorang yang terus tumbuh berkembang dan mempertahankan keselarasan, dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius (Rosdahl, 1999).
Sikap yang positif terhadap diri sendiri, tumbuh, berkembang, memiliki aktualisasi diri, keutuhan, kebebasan diri, memiliki persepsi sesuai kenyataan, dan kecakapan dalam beradaptasi dengan lingkungan (Yahoda dalam Stuart dan Laraia, 1998).
Suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu selaras dengan keadaan orang lain (Undang-Undang No. 3 Tahun 1966).
Suatu kondisi fisik, intelektual, dan emosional secara optimal dari seseorang serta perkembangan ini berjalan selaras dengan orang lain (Undang-Undang Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1996).
Menurut WHO, kesehatan jiwa bukan hanya suatu keadaan tidak gangguan jiwa melainkan mengandung berbagai karakteristik yang bersifat positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadian yang bersangkutan.
Menurut K. Maslow, kesehatan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan seseorang berkembang secara optimal baik fisik, emosional, dan intelegensi dan berjalan selaras dan serasi dengan orang lain.
Keperawatan jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri secara teraupetik dalam meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan mental klien dan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada (American Nurses Associations). 
Pengertian Keperawatan Jiwa
Menurut Suliswati dkk (2005) Keperawatan jiwa adalah pelayanan keperawatan professional berdasarkan ilmu perilaku.
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk menigkatkan dan mempertahankan perilaku yang mengkontribusi pada fungsi yang terintegrasi (Struat, sunden 1995).
Keperawatan jiwa menurut Kozier (1991) adalah suatu metode pemberian asuhan keperawatan yang sistematis dan rasional.
Keperawatan jiwa adalah pelayanan keperawatan profesional didasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respons psiko-sosial yang maladaptif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa ( komunikasi terapeutik dan terapi modalitas keperawatan kesehatan jiwa ) melalui pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah, mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa klien (individu, keluarga, kelompok komunitas).
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berusaha untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku sehingga klien dapat berfungsi utuh sebagai manusia.
Peran dan Fungsi Perawat Jiwa
Suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia  sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya.
Praktik kontemporer keperawatan jiwa terjadi dalam konteks social dan lingkungan.Peran keperawatan psikiatri professional telah berkembang secara kompleks dari elemen-elemen histori aslinya. Keperawatan psikiatri sering mencakup parameter kompetensi klinik, advokasi pasien, tanggung jawab fiscal, kolaborasi professional, akuntabilitas (tanggung gugat) social, dan kewajiban etik dan legal.
Pusat pelayanan kesehatan mental secara resmi mengakui keperawatan kesehatan mental dan psikiatrik sebagai salah satu dari 5 inti disiplin kesehatan mental.Perawat jiwa menggunakan pengetahuan dari ilmu-ilmu psikososial, biofisik, teori-teori kepribadian dan perilaku manusia untuk menurunkan suatu kerangka kerja teoritik yang menjadi landasan praktik keperawatan.
Tingkat Kinerja
Empat factor uatama yang membantu untuk menentukan tingkat fungsi dan jenis aktivitas yang melibatkan perawat jiwa:
  1. Legislasi praktik perawat
  2. Kualifikasi perawat,termasuk pendidikan, pengalaman kerja, dan status sertifikasi
  3. Tatanan praktik perawat
  4. Tingkat kompetensi personal dan inisiatif perawat
Tingkat Pencegahan
Intervensi keperawatan jiwa lebih jauh mencakup 3 area aktivitas: pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
  1. Pencegahan primer
Suatu konsep komunitas termasuk menurunkan insiden penyakit dalam komunitas dengan mengubah factor penyebab sebelum hal tersebut membahayakan.Pencegahan primer mendahului penyakit dan diterpakan pada populasi yang umumnya sehat.Pencegahan iini trermasuk peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
  1. Pencegahan sekunder
Mencakup reduksi penyakit aktual dengan deteksi dini dan penanganan masalah kesehatan.
  1.  Pencegahan Tertier
Mencakup penurunan gangguan atau kecacatan yyang diakibatkan oleh penyakit.
Rentang asuhan
Tatanan tradisional dari perawat jiwa mencakup fasilitas psikiatri, pusat kesehatan mental masyarakat, unit psikiatri dirumah sakit umum, fasilitas-fasilitas tempat tinggal, dan praktik pribadi.Dengan diprakarsai bentuk baru pelayanan kesehatan, timbul suatu tatanan penanganan alternative sepanjang rentang asuhan bagi perawat jiwa. Tatanan tesebut meliputi pelayanan dirumah, program rawat inap parsial, pusat-pusat penitipan, panti asuhan atau rumah kelompok,hospices, asososiasi perawat kunjungan, unit ke daruratan, klinik pelayanan utama, sekolah, penjara, industry, fasilitas pengelolaan perawat, dan organisasi pemeliharaan kesehatan
Asuhan yang Kompeten
Ada 3 domain praktik keperawatan jiwa kontemporer-aktivitas asuhan langsung, komunikasi, dan penatalaksanaan.Didalam domain praktik yang tumpang tindih ini, diperlihatkan fungsi peran pendidik, pengkoordinasian, pendelegasian, dan pengkolaborasian.
Adalah memungkinkan untuk lebih jauh menguraikan berbagai aktivitas yang melibatkan perawat jiwa didalam ke 3 domain ini.Kotak 1-1 menyajikan daftar kisaran aktivitas keperawatan spesipik yang dapat dilakukan oleh perawat jiwa pada tiap area.Meskipun tidak semua perawat berperan serta dalam semua aktivitas, namun mereka tetap mencerminkan sifat dan lingkup terbaru dari asuhan yang kompeten oleh perawat jiwa. Selain itu, perawat jiwa mampu untuk melakukan hal-hal berikut ini:
  • Membuat pengkajian kesehatan biopsikososial yang peka terhadap budaya
Kotak 1-1
Aktivitas Keperawatan Jiwa
Aktivitas asuhan langsung
AdvokasiTindak lanjut setelah perawatan
Penanggulangan prilaku
Konsulltasi kasus
Pengelolaan kasus
Penanggulangan kognitif
Penyuluhan komunitas
Konseling kompliens
Intervensi krisis
Perencanaan pulang
Intervensi keluarga
Kerja kelompok
Peningkatan kesehatan
Penyuluhan kesehatan
Pengkajian resiko tinggi
Kunjungan rumah
Konseling individu
Skrining dan evaluasi masukan
Pemberian pengobatan
Penatalaksanaan pengobatan
Peningkatan kesehatan mentalPernak-pernik terapy
Konseling nutrisi
Mendapatkan persetujuan penelitian
Penyuluhan orang tua
Triase pasien
Pengkajian fisik
Penanganan psikologis
Terapi bermain
Obat-obatan yang diresepkan
Memberikan keamanan lingkungan
Pengkajiian psikososial
Resiko terapi
Pencegahan kekambuhan
Implementasi penelitian
Aktivitas perawatan diri
Pelatihan keterampilan social
Penanganan somatik
Penatalaksanaan stress

Aktivitas komunikasi
Konferensi kasus klinikMengembangkanrencana penanggulangan
Dokumentasi asuhan
Kesaksian forensic
Hubungan antaragen
Umpan balik sejawat
Menyiapkan laporan
Jaringan kerja perawat professional
Pertemuan staf
Penulisan order
Pertemuan tim
Laporan verbal tentang asuhan
Delegasi penugasanPenulisan jaminan
Pemasaran dan hubungan masyarakat
Mediasi dan resolusi konflik
Pengkajian kebutuhan dan perakiraan kebutuhan
Penguasaan organisasi
Penatalaksanaan hasil
Evaluasi kinerja
Perencanaan program
Pengembangan kebijakan prosedur
Prensentasi professional
Evaluasi program
Publikasi
Aktifitas peningkatan kualitas

Aktifitas penatalaksanaan
Alokasi sumber dan anggaranPenyelia klinik
Kolaborasi
Peran serta komite
Tindakan komunitas
Hubungan konsultasi
Negosiasi kontrak
Koordinasi pelayanan

Aktifitas rekrutmen dan retensiAktifitas badan legislasi
Penatalaksanaan resiko
Pengembangan perangkat lunak
Penjadwalan tetap
Penyuluhan staf dan peserta didik
Perencanaan strategic
Penguasaan unit
Umpan balik pendayagunaan
  • Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan untuk pasien dan keluarga dengan masalah kesehatan yang komplek dan kondisi yang dapat menimbulkan sakit.
  • Berperan serta dalam aktifitas pengelolaan kasus, seperti mengorganisasi, mengkaji, negosisasi, koordinasi dan mengintegrasikan pelayanan serta perbaikan bagi individu maupun keluarga.
  • Memberikan pedoman pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga, dan kelompok untuk menggunakan sumber yang tersedia di komunitas kesehatan mental termasuk pemberian pelayanan terkait, teknologi, dan system social yang paling tepat.
  • Meningkatkan dan memelihara kesehatan mental serta mengatasi pengaruh penyakit mental melalui penyuluhan dan konseling.
  • Memberikan asuhan kepada mereka yang mengalami penyakit fisik dengan masalah psikologi dan penyakit jiwa dengan masalah penyakit fisik.
  • Mengelola dan megkoordinasi system pelayanan yang mengintegrasikan kebutuhan pasien, keluarga, staff dan pembuatan kebijakan.

Evaluasi Hasil
Perawat jiwa harus mampu mengidentifikasi, menguraikan, dan mengukur hasil asuhan yang mereka berikan pada pasien, keluarga dan komunitas.
Hasil adalah semua hal yang terjadi pada pasien dan keluarga ketika mereka berada dalam system pelayanan kesehatan.Hasil tersebut dapat meliputi status kesehatan, status fungsional, kualitas kehidupan, ada atau tidaknya penyakit, jenis respon koping, dan kepuasan terhadap tindakan penanggulangan.
Evaluasi hasil dapat berfokus pada klinik, intervensi, atau proses pemberian asuhan. Berbagai hasil yang dapat di evaluasi mencakup indicator-indikator klinik, fungsional, financial, dan perseptual tergantung pada pemberian asuhan keperawatan jiwa sebagaimana yang terdapat pada kotak 1-2.
Evaluasi hasil aktifitas keperawatan jiwa secara kritis merupakan tugas perawat jiwa apapun peran, kualifikasi, atau tatanan prakteknya.Praktisi perawat jiwa, pendidik, administrator, dan peneliti semuanya harus bertanggung jawab untuk menjawab setiap pertanyaan.Apa perbedaan dari seorang perawat jiwa.

Kotak 1-2
Kategori tentang indikator-indikator hasil

Indikator hasil klinik
Perilaku berisiko tinggi
Simptomatologi
Respons koping
Kekambuhan
Kejadiaan berulang
Masuk kembali dirumah sakit
Jumlah episode penanggulangan
Komplikasi medis
Laporan insidens
Mortalitas

Indikator hasil fungsional
Status fungsional
Interaksi social
Aktivitas hidup sehari-hari
Kemampuan okupasional
Kualitas hidup
Hubungan keluarga
Penataan rumah

Indicator hasil persepsepsual kepuasanpasien keluarga
Hasil
Pemberi pelayanan
System pelayanan
Pelayanan yang diterima
Organisasi

Indicator hasil finansial
Biaya per episode penanggulangan
Pajak tiap episode penanggulangan
Lama masa rawat ianp
Penggunaan sumber pelayanan kesehatan
Biaya yang berhubungan dengan kecacatan
Peran Perawat Kesehatan Jiwa
Menurut Weiss  (1947) yang di kutip oleh Struart Sundeen dalam Principle and Practice of Psychiatric Nursing Care (1995), peran perawat adalah sebagai Attitude Therapy, yakni:
  1. Mengobservasi perubahan,  baik perubahan kecil atau menetap yang terjadi pada klien.
  2. Mendemonstrasikan penerimaan.
  3. Respek
  4. Memahami klien.
  5. Mempromosikan ketertarikan klien dan berpartisipasi dalam interaksi
Sedangkan Menurut Peplau, peran perawat meliputi:
  1. Sebagai pendidik
  2. Sebagai pemimpin didalam situasi yang bersifat local, nasional, dan internasional
  3. Sebagai “surrogate parent”
  4. Sebagai konselor
Dan sebagai tambahan dari peran perawat adalah:
  1. Bekerja sama dengan lembaga kesehatan mental
  2. Konsultasi dengan yayasan kesejahteraan
  3. Memberikan pelayanan kepada klien di luar klinik
  4. Aktif melakukan penelitian.
  5. Membantu pendidikan masyarakat.
  6.  

Rentang sehat jiwa
  1. Dinamis bukan titik statis
  2. Rentang di mulai dari sehat optimal-mati
  3. Ada tahap-tahap
  4. Adanya pariasi tiap individu
  5. Menggambarkan kemampuan adaptasi
  6. Berfungsi secara efektif: sehat







Re-present by.Xander
Taken from:
Nasir, Abdul. 2011. Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa: Pengantar dan Teori. Jakarta: Salemba Medika
Stuart, Gail Wiscars. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Baca selengkapnya »

29 Oktober, 2014

Pengantar

|
Kesehatan jiwa adalah milik semua orang. Kita semua pernah punya saat-saat dimana kita merasa tidak nyaman seperti perasaan “down” atau depresi atau stres atau cemas atau takut dan lain-lain. Sebagian besar dapat berlalu dengan berjalannya waktu, tetapi kadang-kadang perasaan ini dapat berkembang menjadi masalah yang lebih serius dan kondisi ini bisa terjadi pada setiap orang, dimanapun, kapanpun…

"Hallo, apa kabar?"
"Aku senang hari ini. Bagaimana dengan Kamu?"
"Saya sedikit sebel karena rasanya sesuatu yang saya lakukan salah melulu."

Percakapan diatas adalah sebuah gambaran tentang kesehatan jiwa anda. Kesehatan Jiwa adalah cara Anda berpikir, merasakan serta kemampuan Anda untuk menghadapi situasi kehidupan yang berdinamika. Menjadi orang yang sehat jiwanya, tidak berarti Anda tidak punya masalah kesehatan jiwa. Jika Anda dalam kondisi kesehatan jiwa yang baik, maka Anda akan dapat:
  • memanfaatkan potensi diri terbaik yang Anda miliki;
  • mampu menghadapi masalah kehidupan, dan
  • bisa berperan penuh di dalam keluarga, tempat kerja, masyarakat dan di antara teman-teman Anda.
Tidak sedikit orang menyebut kesehatan jiwa adalah 'kesehatan emosional' atau “perasaan sejahtera” dan itu sama pentingnya dengan kesehatan fisik yang baik.
Kooping setiap individu berbeda. Ada yang dapat bangkit kembali dari perasaan tidak nyaman ini, tapi pada yang lain mungkin akan merasa terbebani untuk waktu yang lama.
Kesehatan jiwa Anda tidak selalu harus tetap sama, tapi kesehatan jiwa anda dapat berubah karena perubahan keadaan di lingkungan anda dan juga saat Anda melalui berbagai tahapan dalam kehidupan Anda.
Ada stigma yang melekat terhadap masalah kesehatan jiwa, sehingga banyak orang bahkan tidak merasa nyaman berbicara tentang perasaan mereka. Tapi ketahuilah, bahwa mengetahui dan mengatakan bagaimana perasaan Anda akan membuat Anda merasa lebih baik.
Baca selengkapnya »

Copyright © 2013 Lantera Jiwa

Template byAlexander Xander Axel